Selasa, 05 Februari 2008

Penyakit Hati dan Karakteristik Kemunafikan

“Ingatlah, sesungguhnya mereka, adalah kalangan yang melakukan pengrusakan (di muka bumi), tetapi mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan pada mereka, “Berimanlah! sebagaimana orang-orang beriman,” mereka mengatakan, “Apakah kami beriman sebagaimana yang dilakukan orang-orang bodoh ?”. Ingatlah! sesungguhnya mereka itu, adalah golongan bodoh, tetapi mereka tidak tahu.”

Pribadi ganda orang-orang yang munafik senantiasa menyelimuti dirinya dengan kedustaan. Mereka terhijab dari kebenaran nuraninya paling dalam, sehingga memiliki keberanian dusta. Oleh sebab itu, dalam konteks yang lebih mendasar, mereka yang seringkali mengibarkan keimanan, nama Allah, bahkan Islam, tetapi hatinya penuh dengan kebusukan, seringkali memunculkan klaim bahwa dirinya paling Islam dan paling beriman, di samping menganggap yang lain kurang Islami dan kurang Imani. Klaim itulah yang menimbulkan wahana yang memunculkan anggapan dusta, bahwa orang lain itu hanya memiliki keimanan sebagaimana yang dilakukan orang-orang bodoh. Sementara kebodohan yang hakiki justru menempel di benak mereka.

Pada ayat tersebut dikatakan, bahwa mereka justru kaum bodoh. Lalu di mana kebodohan munafiqin itu? Kebodohan itu terletak pada :

  1. Ketakutan mereka terhadap kebenaran yang hakiki, yaitu tauhidullah dan ma’rifatullah.

  2. Adanya hijab yang mereka pelihara sebagai kenikmatan. Hijab duniawi yang menghalangi hubungan mereka dengan Allah SWT.

  3. Kesombongan mereka yang mengarah pada sikap egoismesentris, sehingga muncul pemberhalaan terhadap “keakuannya”. Kesombongan adalah awal dari kebodohan, dan kebodohan adalah arogansi yang menyeret pada sikap terbelah dalam egonya.

  4. Mereka tidak mengerti, sekaligus juga tidak tahu. Artinya mereka tidak memiliki rasa cinta, kasih sayang, rasa malu, rasa bersalah, dan rasa mengabdi kepada Allah, disebabkan mereka tidak memiliki keyakinan yang teguh. Mereka yang tidak memiliki keyakinan teguh, berarti tidak memiliki pengetahuan itu sendiri.

  5. Ketakutan terhadap diri mereka sendiri, ketika mereka berhadapan dengan cermin kebenaran.


Lima elemen inilah yang kemudian tergambar dalam ayat berikutnya:
“Ketika mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Namun ketika mereka masuk dalam kelompok sesat mereka, mereka mengatakan, “Kami tetap bersama kalian, sesungguhnya kami hanya mengina (mereka saja). Allah menghina mereka dan menyeret mereka dalam kesesatan mereka sehingga mereka buta (hatinya)”. Mereka itu adalah orang-orang yang menjual kesesatan dengan hidayah, maka, mereka perdagangan mereka tidak membawa keberuntungan, dan mereka tidak mendapat petunjuk.

Kalangan munafik secara sufistik, juga muncul di kalangan mereka yang sok sufi. Mereka seringkali mengatasnamakan sufi ketika memasuki kalangan dunia sufi, tetapi mereka hanya ingin mencurigai tasawuf, sekaligus menghinanya ketika mereka kembali ke kelompoknya. Jual beli dengan Allah, sesungguhnya adalah bermu’amalat dengan Allah, yaitu melaksanakan amaliah sesuai dengan kontrak ubudiah di zaman ‘azali dulu. Tetapi karena mu’amalat itu tertutup oleh hijab, maka ubudiah itu hanya verbal belaka.

Banyak kalangan yang merasa menjadi sufi hanya karena mendalami dan membaca kitab atau buku-buku tasawuf. Padahal munculnya perasaan demikian tidak lebih dari nafsu yang memperdayainya sendiri, sehingga seakan-akan ia telah sampai pada batas sufisme, namun baru pada tahap mendengar atau menyimaknya belaka.

Di samping itu, banyak kalangan yang merasa paling mendapat hidayah, sementara mereka sendiri sebenarnya telah memperjualbelikan hidayah dengan kesesatan mereka. Ketika mereka mengandalkan syari’at, sebagai sikap yang arogan, seakan-akan merekalah yang mendapatkan hidayah itu, sementara dunia hakikat mereka tinggalkan, namun mereka sudah merasa mencapai hakikat. Dan sebaliknya, mereka yang memasuki dunia hakikat, tetapi meninggalkan syari’at, merasa paling berhak mendapat hidayah, sehingga memunculkan sikap anti syari’at. Hakikat dan syari’at bukan simbol, tetap[i perilaku, dimana keduanya tidak boleh berpisah. Begitu seseorang memisahkan diri dengan segala keyakinannya, maka orang tersebut bisa terjebak dalam perilaku kemunafikan itu sendiri. Akibatnya tidak memiliki keberuntungan kedua belah pihak.